MEMERANDOM.COM –
Salah Naik Bus, Wisata ke Kota Sebelah Malah Ketagihan: Sebuah Petualangan Tak Terduga
Penulis: Pengelana Salah Jalur
Hidup ini memang penuh misteri dan kejutan, ya? Kadang rencana yang sudah matang malah berantakan, tapi dari ‘kerusakan’ itu, justru muncul sesuatu yang indah dan tak terduga. Persis seperti pengalaman ndagel (lucu/aneh) yang belum lama ini aku alami. Niatnya sih mau dolan (jalan-jalan/berlibur) ke satu kota yang sudah lama jadi incaran, eh, jebul (ternyata) malah nyasar ke kota lain. Lha kok (Nah kok), nggak nyangka, dari nyasar itu malah ketagihan (ketagihan/sangat suka) banget sama kota yang nggak sengaja kudatangi!
Waktu itu, aku lagi penat-penatnya sama rutinitas kerja. Rasanya sumpek (pengap/sesak, dalam artian bosan) banget. Browsing sana-sini, akhirnya memutuskan mau healing (penyembuhan diri) sebentar ke Kota A. Kota A ini sudah terkenal dengan tempat wisatanya yang ijo royo-royo (hijau subur) dan udaranya yang seger. Pokoknya, bayanganku (bayanganku) di sana bakal dapat ketenangan jiwa dan raga.
Hari H pun tiba. Pagi-pagi wis (sudah) siap dengan ransel berisi sak perlune (seperlunya), budal (berangkat) ke terminal. Terminal pagi itu lumayan ramai. Banyak bus sliweran (berseliweran), orang-orang padha wira-wiri (pada mondar-mandir), ambune (baunya) khas terminal: campur aduk antara asap knalpot, keringat, dan bakulan (pedagang).
Aku celingukan nyari bus jurusan Kota A. Nggak lama, ada kondektur nggonggong (berteriak memanggil penumpang) “Kota A! Kota A! Berangkat! Berangkat!” Wah, pas banget (pas sekali)! Tanpa pikir panjang, langsung naik. Kebetulan dapat tempat duduk di dekat jendela. Lumayan, bisa lihat pemandangan selama perjalanan.
Bus mulai bergerak pelan, lalu makin cepat meninggalkan terminal. Aku wis (sudah) marem (lega/puas) dalam hati, sebentar lagi sampai di Kota A yang idam-idaman (dambaan). Pemandangan di luar jendela berganti dari bangunan kota ke sawah hijau, perbukitan, dan sesekali perkampungan yang adem ayem (damai tenteram).
Satu jam berlalu, dua jam berlalu. Kok rasanya perjalanannya agak beda ya? Pemandangannya kok bukan yang seperti tak bayangké (kubayangkan) kalau mau ke Kota A? Mulai krasa (terasa) ada yang ora pas (tidak pas). Aku coba nguwasi (mengamati) tulisan-tulisan di pinggir jalan, nama-nama desa, nama-nama persimpangan. Lho, kok (Lho, kok) asing semua?
Ternyata Bus Ini Jurusannya
Deg! Jantungku rasanya langsung njegleg (berhenti sesaat karena kaget). Aku coba clingak-clinguk (celingak-celinguk) lihat ke depan bus, lihat tulisan di kaca depan. Astaghfirullah! Ternyata bus ini jurusannya Kota B! Bukan Kota A!
Wis panik, atiku kemrungsung (Sudah panik, hatiku resah). Gimana ini? Kenapa bisa salah naik bus? Tadi perasaan wis bener (sudah benar) dengar kondekturnya teriak Kota A. Oalah, Gusti… (Ya Tuhan…).
Sempat kepikiran mau langsung turun di pemberhentian berikutnya terus cari bus balik ke terminal awal. Tapi kok ya tanggung? Busnya wis (sudah) melaju jauh. Mau nggak mau, aku kudu (harus) sampai Kota B dulu.
Akhirnya, dengan perasaan campur aduk antara mangkel (kesal), bingung, dan pasrah, aku melanjutkan perjalanan ke Kota B. Ya wis lah (Ya sudahlah), wis kadung (sudah terlanjur), dinikmati wae (dinikmati saja). Siapa tahu ada hikmahnya, kan?
Sampai di terminal Kota B, suasana terasa berbeda dari terminal di kotaku. Lebih kecil, lebih nyaman (nyaman), tidak terlalu hiruk pikuk. Aku turun dari bus dengan langkah gontai. Rencana ke Kota A ambyar (hancur) sudah. Sekarang di kota antah berantah yang ora tak ngerteni (tidak kuketahui) apa-apa tentangnya.
Daripada bingung dewe (bingung sendiri), aku memutuskan untuk jalan kaki keluar terminal. Mau cari makan dulu, perut wis (sudah) keroncongan. Aku menyusuri jalan, mataku clingukan (celingukan) mengamati sekitar. Kota B ini ternyata ora patiya gedhe (tidak terlalu besar), tapi krasa ayem (terasa damai). Bangunan-bangunan tuanya masih terawat, pohon-pohon rindang di pinggir jalan bikin udara terasa seger (segar).
Aku berhenti di sebuah warung makan sederhana di pinggir jalan yang katone (kelihatannya) ramai. “Monggo, Mbak/Mas,” sapa penjualnya dengan senyum ramah. Aku pesan menu andalannya. Sambil menunggu, aku ngamati (mengamati) orang-orang di sekitar. Mereka ngobrol dengan logat yang unik, terdengar medhok (kental logatnya) tapi nyenengke (menyenangkan). Suasananya guyub (rukun/akrab) banget.
Makanan datang. Wah! Rasanya jan tenan (benar-benar)! Enak banget! Bumbunya pas (pas), porsinya maremké (memuaskan), dan harganya murah meriah (murah sekali). Aku makan dengan lahap, saking (saking/karena saking) enaknya sampai lupa kalau tadi sempat mangkel (kesal) karena salah naik bus.
Setelah makan, aku merasa lebih baik. Akhirnya memutuskan untuk njajah (menjelajahi) Kota B ini sak nemuné (seadanya/sesuai yang ditemui). Aku berjalan kaki tanpa tujuan yang pasti, hanya mengikuti kata hati (kata hati) dan rasa penasaran.
Aku melewati sebuah taman kota yang bersih dan terawat, banyak anak-anak bermain dan orang tua bersantai. Krasa (Terasa) banget aura kademén lan katentremané (kedamaian dan ketenteramannya). Aku duduk sebentar di bangku taman, ngrasakné (merasakan) semilir angin dan suasana yang tentrem (damai).
Lalu, aku menemukan sebuah gang kecil yang katone (kelihatannya) menarik. Di sana ada rumah-rumah tua dengan arsitektur khas jaman dulu, beberapa di antaranya katon (terlihat) terawat apik. Ada juga pengrajin batik rumahan yang sedang sibuk dengan cantingnya. Aku ndelok (melihat) dari dekat, kagum (kagum) dengan ketelatenan mereka. Ngobrol sebentar dengan salah satu ibu pengrajin, beliau dengan ramah menjelaskan proses pembuatan batik tulisnya.
Waktu terus berjalan tanpa terasa. Aku wis (sudah) mengunjungi beberapa tempat, ngicipi (mencicipi) jajanan khas yang durung tau (belum pernah) kutemui sebelumnya, ngobrol (mengobrol) dengan beberapa warga lokal yang ramah-ramah tenan (ramah-ramah sekali). Mereka dengan senang hati memberitahu tempat-tempat menarik lainnya yang bisa dikunjungi di kota ini.
Sore mulai njedhul (Sore mulai muncul). Aku duduk di pinggir alun-alun kota, melihat keramaian sore hari. Anak-anak bermain bola, pedagang kaki lima mulai mbukak lapak (membuka lapak), muda-mudi padha kumpul (pada berkumpul) sambil tertawa. Hati ini krasa (terasa) hangat.
Lha kok (Nah kok), aku malah krasan (betah) banget di kota ini? Kota yang ora tau (tidak pernah) masuk dalam rencanaku. Kota yang kudatangi karena sebuah kesalahan konyol. Tapi justru di sinilah aku menemukan ketenangan yang kucari, keramahan yang ngangeni (membuat kangen), dan pengalaman-pengalaman baru yang marai seneng (membuat senang).
Perasaan mangkel (kesal) karena salah bus tadi wis babar blas ilang (sudah hilang sama sekali). Berganti dengan rasa syukur dan takjub. Syukur karena ‘kesalahan’ itu membawaku ke tempat seindah ini, takjub dengan pesona tersembunyi Kota B.
Waktu wis wanciné (sudah waktunya) pulang. Dengan berat hati, aku kembali ke terminal. Dalam perjalanan pulang, pikiranku penuh dengan kenangan seharian di Kota B. Senyum ramah warganya, lezatnya makanannya, tenangnya suasana kota, dan keindahan tersembunyi di setiap sudutnya.
Jan tenan (Sungguh benar), aku wis ketagihan (sudah ketagihan) sama Kota B. Kota yang ora sengaja (tidak sengaja) kukunjungi karena salah naik bus. Mungkin ini yang namanya takdir, ya? Kadang jalan memutar yang tidak kita sengaja, justru mengantarkan kita ke tempat yang seharusnya kita tuju, atau setidaknya, tempat yang kita butuhkan saat itu.
Pengalaman ini memberiku pelajaran berharga: jangan takut pada ketidaksempurnaan atau kesalahan. Kadang, di luar rencana yang wis mateng (sudah matang) itulah, kita bisa menemukan petualangan paling seru dan permata tersembunyi yang tak pernah kita bayangkan. Kota A, maaf ya, rencananya tak tunda dhisik (kutunda dulu). Kota B, tunggulah aku kembali!