MEMERANDOM.COM –
Tempat di mana barang-barang yang terlupakan menemukan kehidupan kedua. Tempat di mana debu sejarah bersemi kembali. Tapi, siapa sangka, di tengah hiruk pikuk tawar-menawar harga gramofon tua dan celana cutbray bekas, tersimpan sebuah kisah cinta yang lebih berdebu daripada kaset Rhoma Irama yang nggak pernah dirawat.
Cerita ini dimulai bukan dengan tatapan mata yang penuh gairah, bukan pula dengan sapaan mesra yang bikin merinding bulu roma. Tapi dengan… sebuah panci bolong. Iya, panci bolong. Percaya nggak percaya, panci bolong itulah yang mempertemukan Jono, seorang kolektor barang antik yang lebih cinta barang bekas daripada mantan, dengan Mbak Sri, seorang penjual es cendol yang punya senyum semanis gula aren.
Jono, dengan gayanya yang khas: rambut gondrong dikuncir asal, kaos band metal yang sudah buluk, dan tas ransel penuh perkakas buat ngoprek barang antik, lagi asyik blusukan di antara tumpukan barang rongsokan. Matanya berbinar-binar melihat sebuah panci bolong yang tergeletak begitu saja.
"Wah, iki panci legendaris iki! Panci jaman biyen sing digawe ngliwet sego liwet ndek ndeso! Lumayan iki iso digawe pot kembang kaktus," gumam Jono sambil membersihkan debu yang menempel di panci bolong itu. (Wah, ini panci legendaris ini! Panci jaman dulu yang dipakai untuk menanak nasi liwet di desa! Lumayan ini bisa dibuat pot kembang kaktus).
Mbak Sri yang lagi sibuk melayani pelanggan es cendol, ngelirik Jono dengan tatapan penuh tanya. "Mas, panci bolong ngono kok direbuti? Arep digawe opo?" (Mas, panci bolong begitu kok diperebutkan? Mau dibuat apa?).
Jono, yang kaget karena ada suara lembut menyapa, langsung menoleh. Matanya langsung terpana melihat Mbak Sri. Bukan karena Mbak Sri secantik bidadari, tapi karena auranya yang sederhana, ramah, dan… aroma es cendolnya bikin perut keroncongan.
"Nggih, Mbak. Iki panci antik, Mbak. Iso digawe pajangan, iso digawe pot kembang. Sing penting ono nilai historise," jawab Jono sambil senyum kikuk. (Iya, Mbak. Ini panci antik, Mbak. Bisa dibuat pajangan, bisa dibuat pot kembang. Yang penting ada nilai historisnya).
Dari situlah obrolan mereka dimulai. Dari panci bolong, merembet ke koleksi barang antik Jono, sampai resep rahasia es cendol Mbak Sri yang katanya turun temurun dari nenek moyangnya. Setiap hari, Jono selalu mampir ke lapak es cendol Mbak Sri, bukan cuma buat beli es cendol, tapi juga buat ngobrol dan curhat.
"Mbak, kowe ngerti ora? Aku iki wes ngoleksi barang antik wes suwe. Tapi yo ngono kuwi, ora ono sing ngerti seniku. Wong tuoku yo mung ngomel ae, ngongkon aku golek kerjo sing jelas," curhat Jono suatu sore sambil menikmati es cendol. (Mbak, kamu tahu nggak? Aku ini sudah mengoleksi barang antik sudah lama. Tapi ya begitu itu, nggak ada yang mengerti seniku. Orang tuaku ya cuma ngomel saja, menyuruhku cari kerjaan yang jelas).
Mbak Sri tersenyum sambil mengusap embun di gelas es cendol. "Sabar, Mas. Kabeh kuwi ono dalane dewe-dewe. Sing penting kowe seneng karo opo sing kowe lakoni. Ojo nganti kowe nglakoni opo sing ora kowe senengi, malah dadi loro ati." (Sabar, Mas. Semua itu ada jalannya masing-masing. Yang penting kamu senang dengan apa yang kamu lakukan. Jangan sampai kamu melakukan apa yang tidak kamu senangi, malah jadi sakit hati).
Kata-kata Mbak Sri itu bagaikan oase di tengah gurun pasir bagi Jono. Dia merasa ada seseorang yang mengerti dirinya, seseorang yang menghargai apa yang dia lakukan. Sejak saat itu, Jono semakin sering menghabiskan waktu bersama Mbak Sri. Mereka sering jalan-jalan ke pasar loak bareng, ngoprek barang antik bareng, bahkan kadang-kadang Jono ikut bantu Mbak Sri jualan es cendol.
Tapi, namanya juga balada cinta di pasar loak, nggak mungkin mulus-mulus aja. Munculah Bambang, seorang pedagang barang elektronik bekas yang juga naksir Mbak Sri. Bambang punya segalanya: tampang lumayan, motor kinclong, dan dompet tebal. Dia selalu berusaha merebut perhatian Mbak Sri dengan barang-barang mewah dan janji-janji manis.
"Mbak Sri, kowe iki cocok karo aku. Aku iso nggawe kowe urip penak. Ora koyo Jono kuwi, mung ngoleksi barang rongsokan ora jelas," kata Bambang suatu hari sambil memberikan Mbak Sri sebuah handphone keluaran terbaru. (Mbak Sri, kamu ini cocok sama aku. Aku bisa membuat kamu hidup enak. Nggak seperti Jono itu, cuma mengoleksi barang rongsokan nggak jelas).
Mbak Sri hanya tersenyum tipis. Dia tahu Bambang orang baik, tapi hatinya sudah terpaut pada Jono. Dia melihat ketulusan di mata Jono, sesuatu yang tidak dia temukan di mata Bambang.
Akhirnya, Mbak Sri memutuskan untuk memilih Jono. Dia bilang, harta dan kemewahan bukanlah segalanya. Yang penting adalah cinta, pengertian, dan kebersamaan. Bambang конечно kecewa, tapi dia menerima keputusan Mbak Sri dengan lapang dada.
Jono dan Mbak Sri pun akhirnya menikah. Pernikahan mereka sederhana, tapi penuh cinta dan kebahagiaan. Panci bolong yang menjadi saksi pertemuan mereka, dijadikan mahar pernikahan. Sekarang, panci bolong itu tergantung di depan rumah mereka, sebagai simbol cinta yang bersemi di tengah hiruk pikuk pasar loak.
Nah, sekarang giliran kalian!
- Pernah nggak sih kalian nemuin cinta di tempat yang nggak terduga?
- Barang bekas apa yang punya kenangan paling berkesan buat kalian?
- Share cerita kalian di kolom komentar ya! Siapa tahu, kisah kalian bisa jadi inspirasi buat yang lain.
Siapa tahu, balada cinta kalian lebih absurd dan nyeleneh daripada Jono dan Mbak Sri! Ditunggu ya ceritanya! Salam dari pasar loak!
(red)