MEMERANDOM.COM –
Tentu, mari kita selami makna mendalam dari frasa "Serat Cinta Sing Ra Iso Dibaleni" dalam sebuah artikel yang menggabungkan keindahan bahasa Jawa dan kekayaan bahasa Indonesia.
Serat Cinta Sing Ra Iso Dibaleni: Untaian Kenangan dalam Keikhlasan
Ada kalanya dalam perjalanan hidup, kita bertemu dengan sebuah kisah cinta yang begitu dalam, begitu membekas, namun akhirnya harus usai. Bukan sekadar perpisahan biasa, melainkan sebuah penutupan babak yang terasa final, yang menyisakan untaian rasa dan kenangan yang tahu pasti, tak akan pernah bisa dibaleni – diulang atau kembali seperti sedia kala. Untuk menggambarkan rasa dan realitas ini, masyarakat Jawa punya frasa yang begitu puitis dan nyelekit (menusuk): "Serat Cinta Sing Ra Iso Dibaleni."
Mari kita bedah makna frasa ini satu per satu. Serat dalam bahasa Jawa berarti benang, serat, atau untaian. Dalam konteks ini, ia menggambarkan jalinan, koneksi, atau benang merah sebuah hubungan cinta. Cinta tentu saja merujuk pada perasaan kasih sayang yang mendalam. Sementara Sing Ra Iso Dibaleni adalah inti dari kepedihan sekaligus keikhlasan itu sendiri. Ra Iso berarti tidak bisa, dan Dibaleni berasal dari kata Bali yang berarti kembali atau mengulang. Jadi, secara harfiah, frasa ini bermakna "Benang Cinta yang Tidak Bisa Dikembalikan/Diulang."
Lebih dari sekadar terjemahan harfiah, "Serat Cinta Sing Ra Iso Dibaleni" adalah sebuah konsep filosofis tentang cinta yang telah menjadi bagian dari masa lalu. Ini bukan tentang cinta yang hilang sementara dan bisa diperjuangkan kembali. Ini adalah tentang cinta yang, karena berbagai alasan – waktu, keadaan, pilihan, atau takdir – telah melewati titik di mana ia bisa kembali ke bentuk atau esensi yang sama seperti dulu. Jalinan benang itu mungkin masih ada sebagai kenangan, tapi struktur kainnya telah berubah, atau bahkan benangnya telah terputus di titik-titik krusial, sehingga menenun ulang persis seperti semula adalah hal yang mustahil.
Rasa yang menyertai frasa ini seringkali adalah campuran antara kangen (rindu), nelangsa (sedih mendalam), dan nyesek (sesak di dada), namun juga perlahan beranjak menuju ikhlas (rela, lapang dada). Kenangan-kenangan tentang kebersamaan (kebersamaan), tawa, tangis, janji, dan mimpi yang pernah dibagi menjadi untaian serat yang terus ada dalam memori. Kenangan kuwi pancen landhep (kenangan itu memang tajam), bisa tiba-tiba muncul dan mengoyak batin, mengingatkan pada manisnya masa lalu yang kini hanya tinggal cerita.
Apa yang membuat sebuah serat cinta tak bisa dibaleni? Banyak faktor. Bisa jadi karena salah satu pihak telah tiada (kapundhut). Bisa jadi karena jarak yang terbentang begitu jauh dan sulit dijembatani. Bisa jadi karena perubahan diri masing-masing yang telah membuat dua pribadi itu bukan lagi individu yang sama saat mereka pertama kali jatuh cinta. Atau bisa jadi, memang sudah garise (garisnya, takdirnya) bahwa kisah itu hanya sampai di situ, sebagai pelajaran dan pengalaman berharga, bukan untuk dilanjutkan atau diulang.
Mengakui bahwa sebuah serat cinta ra iso dibaleni membutuhkan kedewasaan batin yang luar biasa. Ini bukan tentang menyerah, tapi tentang menerima kenyataan. Ini tentang memahami bahwa tidak semua cerita berakhir bahagia dalam pengertian ‘bersama selamanya’, tetapi bisa berakhir dengan indah dalam pengertian ‘pernah ada dan membentuk diri kita’. Nglakoni proses iki ora gampang (menjalani proses ini tidak mudah). Akan ada masa-masa di mana kita ingin kembali ke masa lalu, memperbaiki kesalahan, atau sekadar merasakan lagi momen-momen indah itu. Namun, kesadaran bahwa itu ra iso adalah langkah awal menuju pemulihan.
"Serat Cinta Sing Ra Iso Dibaleni" juga mengajarkan kita tentang nilai dari apa yang pernah kita miliki. Karena tahu bahwa ia tak bisa diulang, setiap kenangan menjadi berharga. Setiap momen, sekecil apapun, menjadi potongan serat yang membentuk tapestry kisah tersebut. Belajar untuk mensyukuri bahwa kisah itu pernah ada, meskipun kini hanya tinggal kenangan, adalah bagian penting dari proses ikhlas.
Dalam budaya Jawa, konsep ikhlas seringkali terkait dengan penerimaan takdir dan kerelaan melepaskan sesuatu yang bukan lagi menjadi milik kita atau memang sudah saatnya usai. Ikhlas ora ateges lali (ikhlas tidak berarti lupa). Kita tidak harus melupakan serat cinta itu, tetapi kita harus ikhlas bahwa benang itu tidak akan pernah bisa dijalin kembali menjadi pola yang sama. Kenangan tetap ada, menjadi bagian dari lelampahan urip (perjalanan hidup) kita, memberikan warna dan pelajaran.
Frasa ini mengingatkan kita bahwa setiap hubungan adalah unik dan terikat pada waktu serta konteksnya. Cinta yang hadir kemarin, dengan segala dinamikanya, adalah milik kemarin. Mencoba mengembalikannya persis seperti dulu adalah seperti mencoba melangkah ke sungai yang sama dua kali – airnya sudah berbeda, tepiannya mungkin sudah terkikis, dan kita pun sudah bukan orang yang sama.
Akhirnya, "Serat Cinta Sing Ra Iso Dibaleni" bukanlah hanya tentang kesedihan atau kehilangan. Ia adalah pengingat bahwa hidup terus berjalan, dan kita harus bergerak maju. Untaian serat cinta yang tak bisa diulang itu menjadi fondasi, pelajaran, dan kekuatan untuk menghadapi masa depan, untuk menenun serat-serat hubungan yang baru, dengan pemahaman yang lebih dalam tentang kerapuhan dan keindahan dari setiap jalinan cinta yang diberikan kepada kita. Ia adalah monumen dalam hati, bukan untuk diratapi tanpa akhir, melainkan untuk dikenang dengan tulus dan ikhlas, sebagai bagian tak terpisahkan dari mozaik kehidupan.