banner 728x250

Cerita Lucu Tukang Parkir yang Lebih Galak dari Satpam

Cerita Lucu Tukang Parkir yang Lebih Galak dari Satpam
banner 120x600
banner 325x300

Cerita Lucu Tukang Parkir yang Lebih Galak dari SatpamMEMERANDOM.COM


Cerita Lucu: Sang Jenderal Parkir yang Lebih Galak dari Satpam

banner 325x300

Setiap hari, kita berinteraksi dengan berbagai macam profesi. Ada dokter, guru, insinyur, pedagang, sampai tukang parkir. Nah, soal tukang parkir ini, persepsi orang macam-macam. Ada yang bilang pekerjaan gampang, cuma modal peluit dan tangan melambai. Ada juga yang bilang susah, ngatur mobil motor sak-ndayak (sebanyak itu) di tempat sempit. Tapi, pengalaman saya beberapa waktu lalu di sebuah pasar tradisional di daerah pinggiran kota Yogya jan marai ngakak tenan (benar-benar bikin tertawa). Saya ketemu sama tukang parkir yang level kegalakannya itu, ora umum (tidak biasa). Serius, satpam wae kalah (satpam saja kalah)!

Biasanya, satpam itu kan identik dengan wibawa, seragam rapi, ngomongnya tegas tapi sopan (kebanyakan begitu ya). Mereka jaga keamanan, ngatur antrian, nyambut (menyambut) tamu dengan senyum. Tukang parkir? Ya, seperti yang saya bilang tadi, modal peluit, tangan, dan teriakan "Maju… terus… hop!". Paling banter rada (agak) jutek kalau kita kelamaan nyari receh.

Tapi, tukang parkir yang satu ini beda. Sebut saja Pak Tejo (nama samaran, mesakake yen asli – kasihan kalau nama asli). Lokasinya di sebuah pasar yang ruwet (rumit/kusut)nya minta ampun. Jalanan masuk pasar cuma selebar dua mobil papasan, tapi di kiri kanan wis kebak (sudah penuh) motor parkir. Mobil? Jangan ditanya, harus parkir minggir (menepi) di pinggir jalan utama yang wis rada (sudah agak) jauh dari pasar.

Hari itu, saya mau beli burung perkutut buat bapak saya (karena beliau lagi kangen – rindu suara kutut manggung). Pasar itu terkenal dengan lapak burungnya. Saya bawa mobil, karena ndelalah (kebetulan) lagi pakai mobil. Begitu sampai dekat area pasar, wis ketara (sudah kelihatan) kalau ruwetnya wis tekan ubun-ubun (sudah sampai ubun-ubun). Macet total!

Di tengah kemacetan itu, saya lihat sosok Pak Tejo. Perawakannya kurus, agak tinggi, kulit gelap terbakar matahari, rambut wis pethak (sudah putih) di sana-sini. Pakai kaos oblong warna ijo (hijau) yang wis rada buthek (sudah agak kusam), celana kain, dan sandal jepit. Di tangan kanannya ada peluit, tapi entah kenapa dia jarang pakai. Senjatanya adalah suara dan gestur.

Begitu ada mobil di depan saya yang arep (mau) keluar dari parkiran minggir, saya langsung sigap (tanggap) arep (mau) masuk menggantikan. Nah, di sinilah petualangan dimulai. Pak Tejo langsung melangkah tegap (berjalan gagah) ke tengah jalan, madhep (menghadap) ke arah mobil saya. Mukanya serius, ora ana meseme babar blas (tidak ada senyum sama sekali).

"Mundur, Pak! Mundur sithik! Sik, sik! Kuwi ana motor arep liwat!" (Mundur, Pak! Mundur sedikit! Tunggu, tunggu! Itu ada motor mau lewat!) teriaknya dengan suara yang jan seru tenan (benar-benar keras sekali), mengalahkan bising klakson dan teriakan pedagang.

Saya yang wis rada gemeter (sudah agak gemetar) karena sempitnya tempat dan ngguyu (tertawa) dalam hati lihat gayanya, pelan-pelan ngemudeni (menyetir) mobil mundur.

"Terus! Terus! Awas, bakul tahu! Mandheg!" (Terus! Terus! Awas, penjual tahu! Berhenti!)

Gestur tangannya itu jan (benar-benar) mantap, kayak komandan ngatur (mengatur) pasukan. Tangannya kadang lurus ke depan nyuruh berhenti, kadang muter-muter nyuruh belok, kadang ngacung (mengacungkan) jari telunjuk nunjuk sesuatu yang harus diwaspadai. Ekspresinya? Galak tenan (benar-benar galak)! Keningnya berkerut, matanya melirik (melirik) tajam ke segala arah.

Ada ibu-ibu naik motor arep nyalip (mau menyalip) dari kanan yang wis jelas ora cukup (sudah jelas tidak cukup) tempatnya. Pak Tejo langsung nyegat (mengadang) si ibu itu.

"Heh! Awas! Nyang ndi (Mau ke mana) sampeyan? Ora weruh (Tidak lihat) apa mobil iki lagi parkir? Nek nyrempet kepiye (Kalau nyerempet bagaimana)?" bentaknya ke ibu itu.

Si ibu yang dibentak malah mlongo (malah melongo), kaget mungkin (mungkin kaget) lihat ada tukang parkir segala ini (segala ini). Akhirnya si ibu ngalah (mengalah) dan nunggu mobil saya selesai parkir.

Saya sendiri wis keringat dingin (sudah keringat dingin) diarahkan Pak Tejo. Bukan karena susah parkirnya, tapi gregetan (gemas/kesal bercampur geli) lihat gaya dia. Setiap gerakan mobil saya, setiap manuver, semua di bawah kendalinya dengan instruksi sing cetha tur banter (instruksi yang jelas dan keras).



<hr />
<p>” title=”
<hr />
<p>“>
<p>"Kanan sithik! Sithiik wae! Hop! Oke! Saiki <em>luruske</em> (luruskan)! Terus! Terus! Awas, knalpot motor sebelah!"
<p>Dia bahkan <em>melu</em> (ikut) <em>mlirik-mlirik</em> (melirik-lirik) spion mobil saya, memastikan jarak aman. <em>Jan, totalitas tenan</em> (Benar-benar, totalitas sekali)! Saya merasa bukan sedang parkir, tapi sedang <em>uji SIM</em> (uji SIM) ulang dengan penguji yang super galak.
<p>Akhirnya, setelah perjuangan yang terasa <em>dramatis</em> (dramatis), mobil saya <em>manjing</em> (masuk) sempurna di slot parkir yang sempit itu. Saya <em>narik napas lega</em> (menarik napas lega). Pak Tejo <em>mandheg</em> (berhenti) di depan mobil, tangannya <em>wis ora ngacung-ngacung</em> (sudah tidak mengacung-acung) lagi.
<p>Saya buka kaca jendela, <em>arep</em> (mau) bayar. Begitu saya sodorkan uang parkir, ekspresi Pak Tejo langsung berubah 180 derajat. Mukanya yang tadi <em>galak</em> (galak), <em>njur</em> (kemudian) <em>rada kendor</em> (agak mengendur).
<p>"Pas Pak," katanya sambil menerima uang, suaranya <em>ora banter</em> (tidak keras) lagi, bahkan cenderung pelan. "Ati-ati nggih, Pak, <em>nek mlaku</em> (kalau berjalan) ning pasar. <em>Rada rame</em> (Agak ramai) soale." (Hati-hati ya, Pak, kalau berjalan di pasar. Agak ramai soalnya.)
<p><em>Lho</em>? Kok <em>ujug-ujug</em> (tiba-tiba) ramah? Mana <em>satpam</em> yang tadi? <em>Hilang blas</em> (Hilang sama sekali)? Saya cuma bisa <em>mesam-mesem</em> (tersenyum-senyum) sendiri melihat perubahan drastis itu.
<p>Setelah <em>nggih-nggih</em> (mengiyakan) dan mengucapkan terima kasih, saya keluar dari mobil. Saya <em>mlaku</em> (berjalan) masuk pasar, tapi pikiran saya <em>isih kemutan</em> (masih teringat) aksi Pak Tejo tadi. <em>Jan, tenanan</em> (Benar-benar)! Kalau <em>satpam</em> biasanya galak cuma kalau ada masalah besar, Pak Tejo ini galak di setiap <em>detik</em> proses parkir! Dia adalah <em>komandan</em> lapangan yang memastikan tidak ada satu milimeter pun kesalahan terjadi di bawah pengawasannya.
<p>Mungkin memang itu cara dia bertahan di tengah <em>ruwet</em>nya pasar itu. Mungkin kalau <em>ora galak</em> (tidak galak), parkiran <em>wis ora karuan</em> (sudah tidak karuan). Dia menciptakan ketertiban dengan caranya sendiri yang <em>unik tur ngakakake</em> (unik dan lucu).
<p>Pulang dari pasar, saya masih <em>kepikiran</em> (terpikir) Pak Tejo. Saya <em>ngguyu</em> (tertawa) lagi setiap <em>kelingan</em> (teringat) gayanya waktu <em>ngatur</em> (mengatur) mobil saya. <em>Nek dipikir-pikir</em> (Kalau dipikir-pikir), dia memang lebih dari sekadar tukang parkir. Dia itu <em>seniman</em> (seniman) mengatur kekacauan, <em>jenderal</em> lapangan parkir yang tak kenal kompromi saat bertugas. <em>Satpam</em> mungkin jaga keamanan gedung, tapi Pak Tejo jaga <em>kewarasan</em> (kewarasan) parkiran pasar.
<p>Jadi, <em>nek</em> (kalau) suatu saat Anda ke pasar tradisional di daerah pinggiran Yogya dan ketemu tukang parkir yang <em>galake ngalah-ngalahi</em> (galaknya mengalahkan) <em>satpam</em>, jangan <em>kaget</em> (kaget). Itu mungkin Pak Tejo, sang <em>jenderal</em> parkir yang <em>jan marai ngakak tenan</em> (benar-benar bikin tertawa sekali). Pengalaman parkir Anda dijamin <em>bakal</em> (akan) jadi cerita yang tak terlupakan.
<hr />
<p>Semoga artikel ini sesuai dengan permintaan Anda! Mengandung unsur cerita, humor, perbandingan dengan satpam, dan campuran bahasa Jawa-Indonesia dalam gaya yang santai dan menghibur.
<div class=

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *