Pengalaman Mancing di Danau: Dapatnya Cuma Nyamuk & Harapan
Ketika Ketenangan Bertemu Kegagalan (dan Gerombolan Nyamuk)
Mancing. Bagi sebagian orang, ini bukan sekadar hobi, melainkan sebuah ritual. Sebuah pelarian dari hiruk pikuk keseharian, pencarian ketenangan batin, atau sekadar ngentekke wektu (menghabiskan waktu) sambil njagong (duduk santai) di pinggir air. Ada yang mengejar sensasi tarikan kuat, ada yang mencari ikan untuk dibawa pulang, tapi tak sedikit pula yang sekadar menikmati prosesnya. Saya termasuk golongan yang terakhir, meskipun atine (hatinya) tetap berharap ada strike yang mantep (kuat/meyakinkan).
Danau selalu punya daya tarik tersendiri. Airnya yang tenang, pepohonan rindang di sekelilingnya, suara alam yang syahdu, membuat suasana terasa adem (dingin/sejuk) dan tentrem (damai). Kali ini, target saya adalah sebuah danau buatan di pinggiran kota, yang konon menyimpan potensi ikan-ikan lumayan. Kabar dari teman yang pernah mancing di sana cukup menjanjikan, membuat semangat saya membara.
Pagi itu, dengan piranti pancing (peralatan pancing) lengkap, bekal kopi dan sedikit camilan, saya berangkat. Langit cerah, udara masih seger (segar). Perjalanan menuju danau terasa menyenangkan, membayangkan pelampung (bandul pancing) menari-nari ditarik ikan. Ati wis mantep, yakin hari ini akan jadi hari yang produktif.
Sesampainya di lokasi, danau memang indah. Permukaan airnya memantulkan birunya langit, dikelilingi hijaunya pepohonan. Saya memilih spot yang terlihat strategis, di bawah pohon rindang agar tidak terlalu panas. Setelah menyiapkan segala sesuatunya, umpan dipasang, dan jebur! Senar meluncur ke air, pelampung kecil terapung tenang.
Menunggu. Itu adalah bagian terbesar dari mancing. Ada yang bilang, mancing itu melatih kesabaran. Hari itu, saya benar-benar diuji. Menit berganti jam, pelampung tetap anteng. Blas (sama sekali) tidak ada gerakan. Saya coba ganti umpan, pindah spot sedikit, tapi hasilnya sama saja. Air danau seolah tak berpenghuni.
Lha kok yo sepi banget iki? (Lho kok ya sepi sekali ini?) gumam saya dalam hati. Biasanya, paling tidak ada gerakan kecil, isyarat bahwa ada kehidupan di bawah sana. Tapi kali ini, sunyi. Sunyi yang hampa dari harapan akan strike.
Seiring mentari mulai condong, fenomena lain mulai muncul. Bukan ikan, tapi gerombolan kecil yang terbang mendekat. Pertama satu, lalu dua, lama-lama makin banyak. Ya, nyamuk. Nyamuk-nyamuk danau yang entah dari mana asalnya, mulai menyerang.
Awalnya saya hiraukan, mencoba fokus ke pelampung. Tapi lama kelamaan, gigitan-gigitan kecil itu makin terasa. Tangan, kaki, bahkan leher tak luput dari sasaran. Menggaruk jadi aktivitas tambahan selain menunggu. Antinyamuk yang saya bawa terasa tak mempan melawan agresivitas mereka.
Jane iki mancing opo mung njagong sambil ngasih makan nyamuk, yo? (Sebenarnya ini mancing atau cuma duduk sambil memberi makan nyamuk, ya?) pikir saya mulai sedikit mangkel (kesal). Targetnya ikan, entuknya (dapatnya) malah gatal-gatal dan bentol-bentol. Harapan untuk membawa pulang ikan segar mulai memudar, digantikan realita pahit: saya cuma jadi "sarapan" gratis bagi populasi nyamuk danau.
Matahari makin rendah, sinarnya mulai kekuningan. Saya masih njogrok (duduk/jongkok) di tepi danau, piranti pancing tetap terpasang. Nyamuk masih setia menemani, bahkan rasanya makin banyak. Secara logika, ini adalah saatnya menyerah. Tidak ada tanda-tanda ikan, yang ada hanya siksaan nyamuk-nyamuk edan (nyamuk-nyamuk gila) ini.
Tapi anehnya, saya tidak langsung berkemas. Ada perasaan lain yang menahan. Sambil sesekali menepuk nyamuk yang hinggap, pandangan saya menyapu permukaan danau yang kini memantulkan warna jingga keemasan. Suara burung-burung senja mulai terdengar. Angin sepoi-sepoi berhembus, membawa aroma tanah dan air.
Di tengah kegagalan mendapatkan ikan dan serangan nyamuk, ada ketenangan yang merayap masuk. Ketenangan yang didapat dari jauhnya keramaian kota, dari keindahan alam yang ora umum (tidak biasa/istimewa), dari kesederhanaan duduk di pinggir air. Mancing, hari itu, bukan lagi soal hasil. Bukan lagi soal ikan yang didapat.
Mancing adalah proses. Proses melupakan sejenak beban pikiran. Proses sumeleh (pasrah/menerima) pada keadaan. Proses menikmati waktu, sekadar melihat air, merasakan angin, dan mendengar suara alam. Nyamuk-nyamuk itu, meskipun mengganggu, pada akhirnya menjadi bagian dari pengalaman. Sebuah cerita lucu (setelah rasa gatalnya hilang) tentang hari di mana saya pergi mancing dan entuknya cuma nyamuk.